Dalam Pembangunan Jangka Panjang II disebutkan bahwa sasaran umum
pembangunan adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, sejahtera, dan
berkeadilan. Bangsa yang maju ditandai oleh tingkat pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi, sehingga berdampak terhadap kemajuan di
bidang-bidang yang lain. Ekonomi yang maju akan mempercepat kemajuan di
bidang iptek, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan lain-lain.
Bangsa yang mandiri ditandai oleh
kemampuan bangsa dalam membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya
berlandaskan kekuatan sendiri. Untuk itulah, tantangan terbesar yang
dihadapi oleh suatu Negara termasuk Indonesia dalam pembangunan adalah
membangun sumber daya manusia yang berkualitas yang sehat, cerdas, dan
produktif untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang.
Pada tahun 2003, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia masih
rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah
dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Rendahnya
IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status
kesehatan penduduk, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka
kematian bayi sebesar 35 per seribu kelahiran hidup dan angka kematian
balita sebesar 58 per seribu kelahiran hidup serta angka kematian ibu
307 per seratus ribu kelahiran hidup. Serta lebih dari separuh kematian
bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya status gizi anak balita.
Masalah gizi merupakan masalah yang sangat kompleks. Melibatkan banyak
sektor, tidak hanya sektor kesehatan. Hal ini terjadi karena status
gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab. Penyebab langsung gizi
kurang adalah makan tidak seimbang, baik jumlah dan mutu asupan gizinya,
di samping itu asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh
secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat adanya penyakit
infeksi. Penyebab tidak langsung adalah tidak cukup tersedianya pangan
di rumah tangga, kurang baiknya pola pengasuhan anak terutama dalam pola
pemberian makan pada balita, kurang memadainya sanitasi dan kesehatan
lingkungan serta kurang baiknya pelayanan kesehatan. Semua keadaan ini
berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan
dan kemiskinan. Akar masalah gizi adalah terjadinya krisis ekonomi,
politik dan sosial termasuk kejadian bencana alam, yang mempengaruhi
ketidakseimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi,
yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita.
Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait,
oleh karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat
kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di
banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan BBLR berkurang
seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara.
Upaya perbaikan gizi di Indonesia secara nasional telah dilaksanakan
sejak tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk
mengatasi masalah empat masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein
(KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan
Akibat Kurang Yodium (GAKY). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan
keempat masalah gizi utama namun penurunannya dinilai kurang cepat.
Dengan terjadinya transisi demografi, epidemiologi dan perubahan gaya
hidup kini muncul masalah baru yaitu peningkatan masalah gizi lebih dan
penyakit degeneratif. Keadaan ini menyebabkan Indonesia mengalami beban
ganda masalah gizi yaitu gizi kurang sampai saat ini belum sepenuhnya
diatasi dan gizi lebih yang sudah menunjukkan peningkatan.
Dalam upaya perbaikan gizi perlu dikembangkan dan diarahkan sebuah
kebijakan untuk meningkatkan status gizi masyarakat, Pada saat krisis
ekonomi di Indonesia yang berlangsung cukup lama, kebijakan yang
dilakukan bersifat penyelamatan (rescue) dan pencegahan “lost generation”, sekaligus pembaharuan (reform) agar kejadian ini tidak terulang kembali.
Kebijakan jangka pendek, bertujuan menangani anak dan keluarga yang
terpuruk akibat krisis. Program penyelamatan ini dikenal dengan Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) termasuk perbaikan gizi.
Kebijakan diarahkan pada peningkatan upaya penanggulangan kasus
pemulihan keadaan gizi anak, penurunan kematian akibat gizi buruk dan
peningkatan mutu sumber daya manusia melalui peningkatan keadaan gizi
masyarakat. Pemberian makanan tambahan untuk bayi dan anak umur 6 – 24
bulan serta ibu hamil dan menyusui yang berasal dari keluarga miskin.
Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dalam rangka
identifikasi dini kekurangan pangan dan gizi di suatu daerah,
Revitalisasi pos pelayanan terpadu (Posyandu) untuk menggalakkan kembali
peran serta masyarakat.
Kebijakan jangka menengah dan panjang, berupa reformasi kebijakan yang
tujuannya adalah menyempurnakan subsistem pelayanan kesehatan dan
pembiayaan kesehatan agar menjadi lebih proaktif, profesional serta
mandiri.
Untuk melakukan kebijakan ini maka diperlukan hal-hal yang menunjang, yaitu:
- Mengembangkan sistem ketahanan pangan dan gizi berbasis keluarga dan kemampuan produksi, keragaman sumber daya bahan pangan serta kelembagaan dan budaya lokal.
- Mengembangkan agribisnis komoditas pangan berorientasi global dengan membangun keunggulan lokal.
- Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu pada anak termasuk asuhan nutrisi.
- Pendelegasian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah (desentralisasi) dan menyelenggarakan upaya penanganan masalah spesifik daerah.
- Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
- Pada dasarnya kemampuan daya beli pangan dan akses pelayanan sosial sangat mempengaruhi keadaan gizi masyarakat
Untuk itu diperlukan kerja sama lintas sektoral dalam penyusunan program
perbaikan gizi karena masalah gizi tidak hanya merupakan masalah
kesehatan melainkan juga diperlukan keterlibatan sektor-sektor lain
seperti sektor pertanian, industri, perikanan, serta sektor terkait
lainnya
No comments:
Post a Comment